"Urusan yang tidak terselesaikan"
di masa lalu janganlah dianggap hal yang biasa karena ini berefek besar dalam
kepribadian dan perilaku seseorang. Ketika kita mengalami pengalaman trauma,
kekerasan, kehilangan ataupun dihadapkan pada kondisi yang tidak menyenangkan
yang berada diluar kendali diri seperti perceraian kedua orang tua, bencana
atau kecelakaan yang tiba-tiba yang membuat kita merasa sendiri dan menderita.
Pengalaman dan kejadian itu memberikan sejumlah emosi yang sangat kompleks
sehingga banyak cara orang melakukan respon terhadap situasi itu.
Pertama, ada
orang yang mampu menghadapinya dengan penuh kesabaran dan kesadaran diri yang
penuh akan situasi itu dan memiliki keyakinan diri bahwa ia mampu melewatinya.
Tipe ini dinamakan tipe orang yang memiliki resiliensi. Ia memadukan konsep
diri yang positif dan ketahanan psikologis yang ada dalam dirinya sehinga lebih
kuat dan berkembang secara positif. Tipe resiliensi akan tumbuh dengan jiwa dan
kepribadin yang sehat dan menemukan jati diri keaslian dirinya. Tipe resiliensi
memiliki kesadarn penuh akan diri (sense of self) dimana menurut Frederick
Perls “Founder Gestalt Therapy”, dia akan memiliki keberanian untuk berdiri
dengan pijak kedua kakinya dan inilah yang dinamakan Perls “Tanggung jawab
diri” (Self responsibility) dalam hidupnya. Orang dengan tipe ini menganggap
apa yang terjadinya adalah pengalaman yang harus dihadapi dengan penuh
kesadaran tanpa melakukan penyangkalan (denial) dan resistensi. Dengan kata
lain, kesadaran diri akan masalah yang terjadi pada dirinya akan menyebabkan
dia semakin menerima resistensi yang terjadi dalam hidupnya karena merupakan
bagian kehidupan yang perlu dia terima sebagai bagian dari proses menjadi
manusia seutuhnya. Dalam konteks inilah terjadi relasi manusia paripurna (fully
functioning person) yang dijelaskan oleh Rogers yang menggambarkan orang yang
menerima dirinya apa adanya dan menerima
orang lain apa adanya. Tipe resiliensi akan tumbuh dan berkembangan menjadi
pribadi yang penuh dengan keaslian, tidak bertopeng karena dia tidak pernah
menyangkal bahwa situasi ketidaknyamanan yang terjadi pada dirinya adalah
bagian dari konsep hidup yang perlu diterima untuk mencapai kehidupan yang
baik. Rogers menyebutnya dengan istilah “the Good Life”.
Tipe kedua adalah yang menghadapi
permasalahan di masa lalu dengan cara menyangkal dan resisten serta tidak mau
untuk menerima keadaan itu. Tipe ini awalnya tidak mau untuk menerima kenyataan
bahwa masalah itu menimpa dirinya. Misalkan saya ambil contoh kasus anak yang
mengalami perceraian orang tua. Anak yang menjadi pertengkaran orang tua akan
mengalami kesedihan yang mendalam, dalam konsep ego state, Gordon Emmerson memberikan
nama ‘Vaded Ego State’. Anak yang menjadi korban perceraian melakukan coping
dengan cara melakukan penghindaran terhadap situasi “vaded state” misalkan
dengan cara mememdam kesedihannya dengan tidak melakukan katarsis terhadap
kondisinya. Justru, akan memunculkan Retro Avoiding State yang awal tujuannnya
baik yaitu untuk lepas dari penderitaan yang dirasakannya. Akan tetapi ini
menghindari situasi yang tidak nyaman dan akan membawa sejumlah perilaku
patologis di kemudian hari karena terjadinya suatu ‘Unfinished Bussiness’ dan
meninggalkan emosi negatif yang tidak terlepaskan dan masih tersimpan dalam
diri anak itu sehingga ketika tumbuh dewasa akan tumbuh dan berkembang sejumlah
perilaku seperti “sangat membutuhkan pengakuan dari orang lain” dan “Menginginkan
kesempurnaan (Perfectionistic)”. Dalam
perjalanan kehidupannya menghadapi realita orang tuanya tidak bersama lagi,
dapat saja anak ini melakukan kompensasi dan menjadi unggul dan tumbuh menjadi
anak yang cerdas dan disenangi orang lain. Akan tetapi “unfinished business”
yang terjadi di masa lalunya selalu mempengaruhi dia dalam mengambil keputusan
dan melakukan tindakan. Ia termotivasi untuk keluar dari zona masalah yang
menderitanya akan tetapi tidak mau menerima kenyataan yang terjadi pada dirinya
sehingga posisi ini membuat dia harus bertahan dan hidup dalam topeng
kepribadian yang dijadikan strategi dia untuk bertahan hidup. Sekilas, tipe
penyangkal ini akan mengalami pencapaian prestasi yang luar biasa karena
kompensasi yang dia lakukan terhadap masalahnya menyebabkan dia harus bekerja
keras mencapai kesempurnaan hidup yang terus dia cari. Akan tetapi terdapat
kehampaan dan kehausan makna, kekosongan jiwa dan perasaan kesendirian yang
mendalam seolah-olah dia sudah mampu mencapai kondisi yang diinginkan akan
tetapi mengalami ketidakpuasan hidup. Sehingga inilah yang disebut dengan Ilusi
kehidupan (The Illusion of Life). William Glasser “Founder Reality Therapy”
mengatakan bahwa kondisi ini terjadi karena kesalahan dalam mengambil keputusan
(Bad Choice) sehingga tidak mampu hidup dalam kehidupan nyata (Realitas). Kesalahan fatal tipe ini adalah menyimpan
emosi negative sehingga setiap pencapaian yang sudah dia raih serasa ada yang
kurang dan dia tidak mampu menerima itu. Dalam hal ini, Robert & Marry
Goulding “Co-Founder Transactional Analysis Therapy” menyebutkan ini terjadi
karena kesalahan dalam mengambil keputusan di masa lalu sehingga menjadi skrip
kehidupan (life scipt) yang menjadi
dasar baginya untuk melakukan permainan kehidupan (The Game of Life). Tipe ini
akan selalu hidup dalam topeng untuk mencapai apa yang diinginkannya, dia punya
sejumlah keterampilan yang sangat handal untuk mencapai tujuan (goal) yang
diinginkannya. Maka, jika kita berinteraksi dengan tipe ini kita akan mudah
terbuai dan bahkan terlena karena kemampuannya yang sangat luar biasa canggih
dalam mempengaruhi pikiran kita. Hal ini tidak lain terjadi karena ‘unfinished
bussiness’ yang terjadi pada dirinya sehingga itu semua sebagai bagian dari
strategi atau cara dia untuk bertahan hidup. Untuk itu, dalam menghadapi tipe
ini kita patut untuk merasa kasihan karena selama ini dia hidup dalam situasi
yang ilusi dan tidak nyata dengan segala keaslian dan kesadaran diri. Satu cara
terbaik bagi tipe orang ini agar hidupnya lebih baik adalah dengan cara
memutuskan kembali kesalahan pengambilan keputusan dia lakukan di masa lalu.
Dia perlu untuk melakukan pelepasan emosi terhadap pengalaman negative yang terjadi
pada dirinya di masa lalu dan mulai berdamai dengan bagian dari diri yang mampu
membantunya agar lebih baik.
Tipe yang ketiga adalah tipe yang pasif dalam
menghadapi permasalahan. Tipe ini seolah-olah menerima kekecewasaan, rasa
frustrasi akan tetapi ia tidak mampu keluar dari zona itu sehingga dia
mengalami ‘stuck’ dalam hidupnya. Tipe pasif ini akan cenderung mengalami
permasalahan psikologis berat yang mungkin berujung pada rasa bersalah yang
tidak pernah berakhir, rasa kesedihan yang mendalam, rasa dendam yang memuncak.
Hal ini terjadi karena dia tidak melakukan pengelolan terhadap situasi yang
membuat dia tidak nyaman. Dalam kondisi yang furstrasi, tipe ini bisa saja
berpikir untuk melakukan tindakan menyakiti dirinya. Aaron T. Beck “Self
Labeling” yaitu melabeli dirinya dengan label-label yang negative sehingga tipe
ini akan menganggap dirinya buruk, orang lain menggap dirinya buruk dan masa
depannya suram. Tipe ini perlu untuk melakukan pelepasan emosi negative yang
terjadi di masa lalu kemudian mencari pengalaman atau bagian diri yang mampu
mendorongnya agar lebih menerima kehidupan apa adanya.
Itulah tiga tipe perilaku manusia dalam
menjalani kehidupan yang berkaitan dengan masa lalunya. Kita memang tidak mampu
mengubah masa lalu dan kembali ke masa lalu tapi kita mampu untuk menghidupkan
kembali kehidupan kita saat ini dengan memutuskan kembali mata rantai kesalahan
dalam pengambilan keputusan yang terjadi di masa lalu agar hidup kita lebih
baik di masa sekarang sehingga kita dapat menjadi pribadi yang sehat secara
mental, asli (genuine) dan bahagia dipenuhi dengan rasa syukur akan kehidupan
kita yang semakin baik setiap harinya.
TERIMA KASIH MASA LALU KARENA SELAMA INI
SELALU MENJADI PELAJARAN, TERIMA KASIH MASA SEKARANG KARENA SELAMA INI BISA MERASAKAN
HIDUP DAN TERIMA KASIH MASA DEPAN KARENA SELAMA INI MEMBUAT DIRI UNTUK TERUS
BERJUANG
Reviews:
Posting Komentar