Ditilik dari bahasa Inggris, emosi yaitu “emotion” merujuk pada sesuatu dan
perasaan yang sangat menyenangkan atau mengganggu.
Sedangkan menurut Daniel Goleman (1995), seorang pakar kecerdasan emosional,
makna tepatnya masih sangat membingungkan, baik di kalangan para ahli psiklogi
maupun ahli filsafat dalam kurun waktu selama lebih dari satu abad. Karena
demikian Goleman (1995) mendefinisikan
emosi merujuk kepada makna yang paling harfiah yang diambil dari Oxford
English Dictionary yang memaknai emosi sebagai setiap kegiatan atau
pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang hebat dan
meluap-luap. Lebih lanjut, Goleman (1995) mengatakan bahwa emosi merujuk kepada
suatu perasaan dan pikiran-pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan
psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.
Sementara
itu, Chaplin (1989) dalam Dictionary of Psychology mendefinisikan emosi
sebagai suatu keadaan yang terangsang dari organisme mencakup
perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya dari perubahan
perilaku. Chaplin (1989) membedakan emosi
dengan perasaan dan mendifinisikan perasaan (feelings) adalah
pengalaman disadari yang diaktifkan baik oleh perangsang eksternal maupun oleh
bermacam-macam keadaan jasmaniah.
Definisi
lain menyatakan bahwa emosi adalah suatu respons terhadap suatu perangsang yang
menyebabkan perubahan fisiologis disertai perasaan yang kuat dan biasanya
mengandung kemungkinan untuk meletus. Respons demikian terjadi baik terhadap
perangsang-perangsang eksternal maupun internal (Soegarda Poerbakawatja, 1982).
Dengan definisi ini semakin jelas perbedaan antara emosi dengan perasaan,
bahkan di sini tampak jelas bahwa perasaan termasuk ke dalam emosi atau menjadi
bagian dari emosi.
Bentuk-bentuk
Emosi
Goleman
(1995) mengidentifikasi sejumlah kelompok emosi, yaitu sebagai berikut.
1.
Amarah,
di dalamnya meliputi brutal, mangamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal hati,
terganggu, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, tindak kekerasan, dan
kebencian patologis.
2.
Kesedihan,
di dalamnya meliputi pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani diri,
kesepian, ditolak, putus asa, dan depresi.
3.
Rasa takut,
di dalamnya meliputi cemas, takut, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut
sekali, sedih , waspada, tidak tenang, ngeri, kecut, panik, dan fobia.
4.
Kenikmatan,
di dalamnya meliputi bahagia, gembira, ringan puas, riang, senang, terhibur,
bangga, kenikmatan indrawi, takjub, terpesona, puas, rasa terpenuhi, girang,
senang sekali, dan mania.
5.
Cinta,
di dalamnya meliputi penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa
dekat, bakti, hormat, kasmaran, dan kasih sayang.
6.
Terkejut,
di dalamnya meliputi terkesiap, takjub, dan terpana.
7.
Jengkel,
di dalamnya meliputi hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka, dan mau
muntah.
8.
Malu,
di dalamnya meliputi rasa bersalah, malu hati, kesal hati, menyesal, hina, aib,
dan hati hancur lebur.
Dari
deretan emosi tersebut, berdasarkan temuan penelitian Paul Ekman dari University
California di San Francisco (Goleman, 1995) ternyata ada bahasa emosi yang
dikenal oleh bangsa-bangsa di seluh dunia, yaitu emosi yang diwujudkan dalam
bentuk ekspresi wajah yang di dalamnya mengandung emosi takut, marah,
sedih, dan senang. Di seluruh dunia meskipun memiliki budaya yang
berbeda-beda, bahkan termasuk bangsa-bangsa yang buta huruf, tidak terpengaruh
oleh film, dan siaran televisi. Dengan demikian, ekspresi wajah sebagai representasi
dari emosi itu memiliki universalitas tentang perasaan emosi tersebut.
Kesimpulan ini diambil setelah Paul Ekman melakukan penelitian dengan cara
memperlihatkan foto-foto wajah yang menggambarkan ekspresi-ekspresi emosi
tersebut di atas kepada orang-orang yang memiliki keterpencilan budaya, yaitu
suku Fore di Papua Nugini, suku terpencil berkebuadayaan Zaman Batu di dataran
tinggi terasing. Hasilnya ternyata mereka semua mengenali emosi yang tergambar
pada ekspresi wajah dalam foto-foto tersebut.
a
Kematangan Emosi
Perkembangan emosi pada remaja ditandai
dengan emosi yang tidak stabil dan penuh gejolak. Pada masa ini mood
(suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Hasil penelitian di Chicago
oleh Mihalyi dan Reed Larson (1984) menemukan bahwa remaja rata-rata memerlukan
hanya 45 menit untuk berubah dari mood “senang luar biasa” ke “sedih
luar biasa”, sementara orang dewasa memerlukan beberapa jam untuk hal yang
sama. Perubahan emosi ini erat kaitannya dengan kemasakan
hormon yang terjadi pada remaja. Stres emosional yang timbul berasal
dari perubahan fisik yang cepat dan luas yang terjadi sewaktu pubertas.
Menurut Havighurst remaja bertugas
mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang-orang dewasa lainnya.
Hal ini bisa membuat remaja melawan keinginan atau bertentangan pendapat dengan
orangtuanya. Dengan ciri khas remaja yang penuh gejolak dan emosional,
pertentangan pendapat ini seringkali membuat remaja menjadi pemberontak di
rumah. Apabila masalah ini tidak terselesaikan, terutama orangtua bersikap
otoriter, remaja cenderung mencari jalan keluar di luar rumah, yaitu dengan
cara bergabung dengan teman-teman sebaya yang senasib. Seringkali karena yang
dihadapi adalah remaja yang seusia yang punya masalah yang kurang lebih sama
dan sama-sama belum berhasil mengerjakan tugas perkembangan yang sama, bisa
jadi solusi yang ditawarkan kurang bijaksana. Kehadiran problem emosional
tersebut bervariasi pada setiap remaja.
1.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
kematangan emosi remaja
Kematangan emosi
seseorang pada umumnya tampak jelas pada perubahan tingkah lakunya, begitu pun
kematangan emosi pada remaja. Kualitas atau fluktuasi gejala yang tampak dalam
tingkah laku itu sangat tergantung pada tingkat fluktuasi emosi yang ada pada
individu tersebut.
a. Perubahan
Jasmani
Perubahan
jasmani yang ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan yang sangat cepat dari
anggota tubuh. Pada taraf permulaan pertumbuhan ini hanya terbatas pada
bagian-bagian tertentu saja yang mengakibatkan postur tubuh menjadi tidak
seimbang. Ketidakseimbangan tubuh ini sering mempunyai akibat tak terduga pada
perkembangan emosi remaja. Tidak setiap remaja dapat menerima perubahan kulit
yang menjadi kasar dan penuh jerawat. Hormon-hormon tertentu mulai berfungsi
sejalan dengan perkembangan alat kelaminnya sehingga dapat menyebabkan
rangsangan di dalam tubuh remaja dan seringkali menimbulkan masalah dalam
perkembangan emosinya.
b. Perubahan
pola interaksi dengan orang tua
Pola
asuh orang tua terhadap anak, termasuk remaja, sangat bervariasi. Ada yang pola
asuhnya menurut apa yang dianggap terbaik oleh dirinya sendiri saja sehingga
ada yang bersifat otoriter, memanjakan annank, acuh tak acuh, tetapi ada juga
yang dengan penuh cinta kasih. Perbedaan pola asuh orang tua seperti ini dapat
berpengaruh terhadap perbedaan kematangan emosi remaja. Cara memberikan hukuman
misalnya, kalau dulu anak dipukul karena nakal, pada masa remaja cara semacam
itu justru dapat menimbulkan ketegangan yang lebih berat antara remaja dengan
orang tuanya. Dalam konteks ini Gardner (1992) mengibaratkan dengan kalimat Too
Big to Spank yang maknanya bahwa remaja itu sudah terlalu besar untuk dipukul.
Pemberontakan
terhadap orang tua menunjukkan bahwa mereka dalam konflik dan ingin melepaskan
diri dari pengawasan orang tua. Mereka tidak merasa puas kalu tidak pernah sama
sekali menunjukkan perlawanan terhadap orang tua karena ingin menunjukkan
seberapa jauh dirinya telah berhasil menjadi orang yang lebih dewasa. Jika mereka
berhasil dalam perlawanan terhadap orang tua sehingga menjadi marah, mereka pun
belum puas karena orang tua tidak menunjukkan pengertian yang mereka inginkan.
Keadaan semacam ini sangat berpengaruh terhadap kematangan emosi remaja.
c. Perubahan
interaksi dengan teman sebaya
Remaja sering kali membangun interaksi sesama
teman sebayanya secara khas dengan cara berkumpul untuk melakukan aktivitas
bersama denan membentuk semacam geng. Interaksi antar anggota dalam suatu
kelompok geng biasanya sangat intens serta memiliki kohesivitas dan solidaritas
yang sangat tinggi. Pembentukan kelompok dalam bentuk geng seperti sebaiknya
diusahakan terjadi pada masa remaja awal saja karena biasanya bertujuan
positif, yaitu untuk memenuhi minat
mereka bersama. Usahakan dapat menghindarkan pembentukan kelompok geng itu
ketika sudah memasuki masa remaja tengah atau remaja akhir. Pada masa ini para
anggotanya biasanya membutuhkan teman-teman untuk melawan otoritas atau
melakukan perbuatan yang tidak baik atau bahkan kejahatan bersama.
Faktor
yang sering menimbulkan masalah emosi pada masa ini adalah hubungan cinta
dengan lawan jenis. Pada masa remaja tengah, biasanya remaja benar-benar mulai
jatuh cinta dengan teman lawan jenisnya. Gejala ini sebenarnya sehat bagi
remaja, tetapi tidak jarang juga menimbulkan konflik atau gangguan emosi pada
remaja jika tidak diikuti dengan bimbingan dari orang tua atau orang yang lebih
dewasa. Oleh sebab itu, tidak jarang orang tua justru merasa tidak gembira atau
bahkan cemas ketika anak remajanya jatuh cinta. Gangguan emosional yang
mendalam dapat terjadi ketika cinta remaja tidak terjawab atau karena pemutusan
hubungan cinta dari satu pihak sehingga dapat menimbulkan kecemasan bagi orang
tua dan bagi remaja itu sendiri.
d. Perubahan pandangan luar
Faktor
penting yang dapat mempengaruhi kematangan emosi remaja selain
perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri remaja itu sendiri adalah pandangan
dunia luar dirinya.
Ada
sejumlah perubahan pandangan dunia luar yang dapat menyebabkan konflik-konflik
emosional dalam diri remaja, yaitu sebagai berikut.
a. Sikap
dunia luar terhadap remaja sering tidak konsisten. Kadang-kadang mereka
dianggap sudah dewasa, tetapi mereka tidak mendapat kebebasan penuh atau peran
yang wajar sebagaimana orang dewasa. Seringkali mereka masih dianggap anak
kecil sehingga menimbulkan kejengkelan pada diri remaja. Kejengkelan yang
mendalam dapat berubah menjadi tingkah laku emosional.
b. Dunia
luar atau masyarakat masih menerapkan nilai-nilai yang berbeda untuk remaja
laki-laki dan perempuan. Kalau remaja laki-laki memiliki banyak teman
perempuan, mereka mendapat predikat popular dan mendatangkan kebanggaan. Sebaliknya,
apabila remaja putri mempunyai banyak teman laki-laki sering dianggap tidak
baik atau bahkan mendapat predikat yang kurang baik. Penerapan nilai yang
berbeda semacam ini jika tidak disertai pemberian pengertian secara bijaksana
dapat menyebabkan remaja bertingkah laku emosional.
c. Seringkali
kekosongan remaja dimanfaatkan oleh pihak luar yang tidak bertanggung jawab, yaitu
dengan cara melibatkan remaja tersebut ke dalam kegiatan-kegiatan yang merusak
dirinya dan melanggar nilai-nilai moral. Misalnya, penyalahgunaan obat
terlarang, minum minuman keras. Serta tindak kriminal dan kekerasan. Perlakuan
dunia luar semacam ini akan sangat merugikan perkembangan emosional remaja.
e. Perubahan
interaksi dengan sekolah
Pada
masa anak-anak, sebelum menginjak masa remaja, sekolah merupakan tempat
pendidikan yang diidealkan oleh mereka. Para guru merupakan tokoh yang sangat
penting dalam kehidupan mereka selain tokoh intelektual, guru juga merupakan
otoritas bagi para peserta didiknya. Oleh karena itu, tidak jarang anak-anak
lebih percaya, lebih patuh, bahkan lebih takut kepada guru daripada kepada
orang tuanya. Posisi guru semacam ini sangat strategis apabila digunakan untuk
mengembnagkan emosi anak melalui penyampaian materi-materi yang positif dan
kontruktif.
Namun
demikian, tidak jarang terjadi bahwa dengan figur sebagai tokoh tersebut, guru
memberikan ancaman-ancaman tertentu kepada para peserta didiknya. Peristiwa
semacam ini sering tidak disadari oleh para guru bahwa dengan ancaman-ancaman
itu sebenarnya dapat menambah permusuhan saja dari anak-anak setelah anak-anak
tersebut menginjak masa remaja. Cara-cara seperti ini akan memberikan stimulus
negatif bagi perkembangan emosi remaja.
Dalam
pembaruan, para remaja sering terbentur dengan nilai-nilai yang menarik bagi
mereka terima atau sama sekali bertentangan dengan nilai-nilai yang menarik
bagi mereka. Pada saat itu, timbullah idealisme untuk mengubah lingkungannya.
Idealisme seperti ini tentunya tidak boleh diremehkan dengan anggapan bahwa
semuanya akan muncul jika mereka sudah dewasa. Sebab, idealisme yang
dikecewakan dapat berkembang menjadi tingkah laku emosional yang deskruktif.
Sebaliknya, kalau remaja berhasil diberikan penyaluran yang positif untuk
mengembangkan idelismenya akan sangat bermanfaat bagi perkembangan mereka
sampai memasuki masa dewasa.
2.
Ciri-ciri kematangan remaja
a. Berkurangnya
egoisme, sebaliknya tumbuh perasaan saling memiliki. Salah atu tanda yang khas
adalah tumbuh kemampuan untuk mencintai orang lain dan alam sekitarnya.
Kemampuan untuk menenggang rasa dengan orang yang dicintainya, untuk ikut
merasakan penderitaan yang dialami oleh orang yang dicintainya.
b. Berkembangnya
“ego ideal” berupa cita-cita, idola dan sebagainya yang menggambarkan bagaimana
wujud ego (diri sendiri) di masa depan.
c.
Mampu untuk
melihat diri sendiri secara objektif yang ditandai dengan kemampuan untuk
mempunyai wawasan tentang diri sendiri dan kemampuan untuk menangkap humor
termasuk yang menjadikan dirinya sebagai sasaran. Ia tidak marah jika di kritik
dan di saat-saat yang diperlukan ia bisa melepaskan diri dari dirinya sendiri
dan meninjau dirinya sendiri sebagai orang luar.
d. Memiliki
falsafah hidup tertentu, tanpa perlu merumuskannya atau mengucapkannya dalam
kata-kata.
e. Memahami
waktu dan tempat yang tepat untuk
mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang efektif, dan dapat mengontrol
emosinya di hadapan orang lain.
f. Mampu
menilai suatu keadaan secara kritis tanpa mengedepankan emosi dalam bereaksi
atas keadaan tersebut, dan berpikir terlebih dahulu sebelum melakukan sesuatu.
Remaja mengabaikan hal-hal yang dapat meledakan emosinya, sehingga remaja dapat
mengontrol emosinya. Kematangan emosi akan membuat remaja stabil emosinya,
tidak berubah-ubah dari satu keadaan emosi ke keadaan emosi lainnya.
Reviews:
Posting Komentar